BUDAYA SIRAMAN GONG KYAI PRADAH
"SIRAMAN GONG KYAI PRADAH" adalah salah satu tradisi wilayah
Blitar yang telah mengakar di wilayah Blitar selatan. Dari tahun ke tahun,
tepatnya setiap penanggalan Maulud yang notabene bertepatan dengan Pringatan
Hari Keagamaan Maulud Nabi Muhammad SAW atau tanggal 12 Rabiul Awwal dan 1
Syawal, masyarakat Lodoyo menggelar tradisi Siraman Gong Kyai Pradah. Gong Kyai
Pradah berlokasi di Sutojayan-Kab Blitar. Tradisi ini telah diperingati secara
turun temurun oleh masyarakat Sutojayan sebagai kelahiran "Kota
Lodoyo".
Gong Kyai Pradah adalah satu di antara pusaka peninggalan Sunan Amangkurat
Mas (Pangeran Prabu) dari Kartasura. Kedatangan Pangeran Prabu ke wilayah
Blitar adalah karena menjalani hukuman pengasingan dari ayahandanya, Pakubuwana
I. Pada saat itu wilayah Lodoyo masih merupakan hutan lebat yang angker.
Kemudian Pangeran Prabu mulai membangun peradaban di sana, sehingga
berangsur-angsur tempat itu mulai dipadati penduduk. Suatu hari Pangeran Prabu
berpesan kepada masyarakat agar selalu memandikan pusaka peninggalannya
tersebut setiap 12 Rabiul Awwal yang juga bertepatan dengan Maulid Nabi
Muhammad. Pangeran Prabu meninggalkan pusaka berupa sebuah gong untuk
masyarakat Lodoyo dan di tempat lain yaitu Desa Kebonsari, beliau meninggalkan
beberapa wayang krucil dan gamelan.
Penamaan "Kyai Pradah" didapat dari cerita yang melegenda tentang
kedatangan segerombolan harimau saat gong pusaka itu ditabuh tujuh kali oleh
abdi kinasih Sang Prabu yaitu Ki Amat Tariman. Konon ia sempat terpisah dari
Sang Prabu di belantara, kemudian ia menabuh gong supaya Sang Prabu dapat
mendengar dan menemukannya. Alih-alih datangnya Sang Prabu, justru segerombolan
macan yang datang. Namun macan-macan itu tidak mengganggu, dan justru menjaga
Ki Amat Tariman. Oleh karena itu pusaka yang awalnya bernama Kyai Bicak ini
disebut sebagai Kyai Macan atau Mbah Pradhah.
Upacara pemandian Gong Kyai Pradah dilakukan oleh para tokoh dan jajaran
Pemerintah Kabupaten Blitar. Satu persatu para tokoh memandikan gong besar
tersebut dengan air kembang setaman. Masyarakat sekitar berjejalan dan berebut
air bekas cucian gong karena mereka percaya bahwa air tersebut membawa berkah,
antara lain: menyembuhkan penyakit, awet muda, mententeramkan hati, hingga
membawa keberuntungan. Tidak hanya masyarakat lokal, tamu-tamu dari berbagai
wilayah di luar Blitar tidak ingin ketinggalan percikan air bekas cucian gong
tersebut.Upacara Siraman Gong Kyai Pradah telah ditetapkan sebagai salah satu ikon
wisata budaya Kabupaten Blitar.
About
Assadena Cahya Kusumardani
0 komentar :
Posting Komentar